14 Januari 2008

Profil Kesehatan Penduduk Desa Kedungwringin Kebumen

Segera

Distribusi simplisia di Jawa Tengah

Segera

Telecenter untuk pengembangan desa tertinggal

Ada beberapa alasan kenapa saya ingin menggabungkan antara tumbuhan obat dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk rencana pengembangan desa percontohan. Pertama karena ingin menerapkan ilmu yang pernah saya dapat di jurusan Informatika Kesehatan FKM UI. Kedua ”Sistem Informasi” merupakan bidang penelitian saya di LIPI dan bertahun-tahun saya bekerja sebagai penyedia dan pengemas informasi di Pusat Dokumentasi dan Infomasi Ilmiah (PDII) LIPI.

Akan terbentuk keadaan yang ideal jika pemberdayaan petani diikuti penyediaan informasi seraya pendampingan cara mencari informasi dengan menggunakan TIK baik dalam bidang teknologi pertanian, pemasaran, atau pengolahan paska panen. Selain membentuk kemandirian petani untuk menyelesaikan masalah, pendampingan bisa dilakukan dari jarak jauh.

Kaitannya dengan petani yang umumnya berpendidikan rendah, sehingga apakah mungkin menggunakan teknologi yang mutakhir. Disinilah pendampingan tersebut diperlukan. Untuk membentuk masyarakat yang berbudaya informasi, baik untuk masyarakat yang berpendidikan rendah atau tinggi sama-sama memerlukan proses dan waktu. Secara logika tentunya diperlukan proses dan waktu yang lebih panjang untuk masyarakat berpendidikan rendah. Sepanjang apa, jika hasilnya akan sama, kenapa tidak dijalankan. Memang harus disadari sejak awal, pendampingan komunitas petani memerlukan komitmen yang tinggi.

Pada awalnya saya tidak punya gambaran bagaimana bentuk penyediaan TIK untuk komunitas petani. Namun setelah mengembara ke dunia maya, ternyata sejak tahun 2004, Bappenas dan UNDP telah merintis pembentukan telecenter di 4 desa, salah satunya adalah desa Pabelan di Magelang. Tidak tunggu waktu lagi, saya SMS Ibenk untuk cari tahu lokasi telecenter dan merencanakan kunjungan ke sana untuk melihat apa telecenter itu.

Telecenter di desa Pabelan terletak di lingkungan pondok pesantren (ponpes) pabelan dan dikelola oleh ponpes tersebut. Fungsinya adalah penyediaan TIK yang dilengkapi dengan sambungan internet. Dengan internet, petani dapat mencari informasi dan berkomunikasi untuk menyelesaikan masalahnya.

Dari beberapa literature yang saya baca, pada awal berdirinya, telecenter melakukan program pelatihan dan beberapa program untuk membentuk komunitas petani yang berwawasan informasi. Maksudnya petani secara mandiri dapat mengembangkan komoditi pertaniannya dengan mencari informasi atau berkomunikasi melalui internet untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Telecenter juga menyediakan operator yang akan mencarikan informasi yang dibutuhkan atau membantu pengunjung yang belum bisa menggunakan TIK.

Menurut ibu Nunun, direktur telecenter, tidak ada kesulitan yang berarti ketika mengajak komunitas petani di desa Pabelan untuk mengikuti pelatihan dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan telecenter.

Setelah hampir 4 tahun berdiri, dana bantuan donor telah dihentikan. Kini petani harus membayar Rp. 3500 untuk penggunaan 1 jam internet. Ini diatasi dengan pemberian voucher untuk pemakaian internet kepada petani. Voucher dibayar dari persentase hasil penjualan komoditi petani. Sejauh ini memang masih perlu dilakukan studi lanjutan yang berkaitan dengan adopsi TIK di komunitas petani.

Untuk wilayah Kebumen, Ibenk optimis dapat menginternetkan masyarakat sampai tingkat kecamatan. Tentunya bukan tanpa alasan Ibenk berpendapat demikian. Selain itu Ibenk juga semangat membangun system informasi e-tani yaitu system yang memberikan panduan informasi kepada individu yang baru akan mulai menjadi petani, informasi teknologi pertanian, menghitung keuntungan, menentukan harga jual komoditi hingga kemana bisa menjual komoditi. Kira-kira gitu ya, Benk?

Jika pendirian telecenter kemudian diikuti dengan pembangunan sistem-sistem informasi yang berpihak pada kebutuhan dan kepentingan komunitas petani, rasanya optimis ya membentuk petani yang berwawasan informasi. Yah, ujung-ujungnya, diharapkan negara ini sedikit demi sedikit tidak lagi menjadi negara agraris yang berbasis impor (pinjem bahasa kompas).

Maju terus ya Benk?


13 Januari 2008

Puskesmas Sempor II

Ortu di Banjarnegara sebenarnya pengen ikut ke desa Pabelan kemarin. Tetapi saya sendiri belum tahu situasinya, selain saya malas menghadapi orang tua yang rewel kalau perutnya lapar atau matanya ngantuk. Ini bukan perjalanan untuk pelesiran, sehingga tidak saya ajak.

Hari jumat tanggal 11 Januari ini, saya berencana ke puskesmas di kecamatan Sempor untuk mencari data kesehatan penduduk desa Kedungwringin. Ortu minta ikut, katanya pengen lihat waduk Sempor – padahal pengen jalan-jalan aja kalee…..
Mengingat puskesmas belum tentu buka di hari libur kejepit, maka saya ajak ortu. Biarlah nanti beliau saya taruh di pinggir waduk, sementara saya ke puskesmas.

Kecamatan Sempor punya dua puskesmas – Sempor I dan Sempor II. Kesehatan penduduk desa Kedungwringin di bawah pengawasan puskesmas Sempor II yang terletak di desa Semali. Ternyata puskesmas buka, walau saat saya datang tidak ada pengunjung sama sekali. Puskesmas terletak di tepi sungai irigasi waduk Sempor dan jalan di depannya sunyi – hanya 1 - 2 sepeda motor melintas.

Puskesmas Sempor II diperkuat oleh seorang dokter umum, seorang dokter gigi, 7 orang bidan, 5 orang perawat, 1 orang perawat gigi, 1 orang HS (Higiene dan Sanitasi), 1 orang AA (Asisten apoteker), 2 orang tenaga administrasi, 1 orang supir dan 1 orang penjaga. Puskesmas bertanggung jawab atas kesehatan penduduk dari 7 desa yaitu desa Pekuncen, Kedung Jati, Bonosari, Semali, Kenteng, Kedungwringin dan Somagede.

Cara penduduk Kedungwringin mencapai puskesmas Sempor II adalah dengan berjalan kaki sepanjang 5 km atau jika ada uang di kantong, dengan ojek yang disewa 10-15 ribu PP. Dapat juga dengan naik perahu, kemudian ke puskesmas Sempor I yang lebih dekat.

Tenaga kesehatan (nakes) puskesmas secara periodik datang ke desa Kedungwringin untuk menyelenggarakan posyandu, dengan cara menyewa perahu 35-40 ribu – pertama saya datang ke Kedungwringin sewa perahu 75 ribu.

Ada 2 desa yang sulit dijangkau di kecamatan Sempor yaitu desa Kedungwringin dan desa Somagede. Di desa Somagede, menurut bidan desanya – kebetulan saat itu ada di puskesmas – penduduk Somagede akan minta ijin dukun bayi dulu sebelum berobat ke puskesmas. Maksudnya penduduk Somagede lebih percaya pada dukun bayi untuk mengatasi penyakitnya.

Bidan desa yang ngobrol dengan saya memberi dukungannya jika rencana pengembangan tanaman obat dijalankan di desa Kedungwringin, karena desa itu memang termasuk desa tertinggal.

“Jangan seperti program desa siaga yang dijalankan di desa Pekuncen yang terletak di dataran, mudah dijangkau dan tergolong desa maju” , kata beliau. “Kalau suatu program bisa sukses di desa yang sulit, di desa yang sudah maju akan mudah diterapkan. Jangan kebalikan………”, menurut beliau lagi.

Oke deh.........

Satu hari di telecenter Pabelan dan bersama LSM YBL Masta

Hari yang cerah, 10 Januari yang lalu, pk. 8.10 pagi saya muncul di rumah keluarga Ibenk di Kebumen. Serabi dan pisang goreng sudah tersaji di meja. Ibenk memang sedang ada tamu pagi itu. Setelah ngobrol sebentar dengan keluarga dan tamu Ibenk – seraya menikmati serabi dan pisang goreng – kami meluncur ke pondok pesantren Pabelan yang terletak dekat objek wisata candi Borobudur dan Mendut, Magelang.

Perjalanan - dengan mobil pinjaman – memerlukan waktu 2 jam. Saya sempat mampir ke peristirahatan simbah *orang yang merawat saya ketika bayi hingga SMU* di Purworejo.
Tujuan ke pondok pesantren Pabelan adalah melihat telecenter pondok itu yang berdiri tahun 2004 atas kerjasama BAPPENAS dan UNDP.

Ibu Nunun, ‘direktur‘ telecenter menerima kami dengan ramah. Pangan tradisional – pisang goreng, ubi goreng, dan tempe goreng – menemani selama bincang-bincang. Beliau bercerita tentang berdirinya pondok Pabelan, suka-duka pendampingan komunitas petani di desa Pabelan, berdirinya telecenter, fungsi dan tujuan telecenter, bagaimana mengajarkan teknologi informasi kepada petani, seru sekali bu Nunun bercerita.

Obrolan yang semula di salah satu ruang telecenter yang sejuk ber-AC, kemudian pindah ke rumah bu Nunun di lingkungan pondok Pabelan. Buah rambutan yang baru dipetik semakin menyemarakan obrolan. Sehingga obrolan pun berkembang menjadi diskusi tentang mantan presiden RI yang sedang sakit hingga penanggalan dan ramalan suku Inca pada tahun 2009-2010 kelak.

Tak lama kemudian saya dan Ibenk pamit, kemudian kami meluncur ke kota Magelang untuk bertemu dengan pak Nuryoso yang melakukan pendampingan petani obat tradisional di bukit Manoreh Kecamatan Purworejo. Sebelumnya kami makan siang dengan ayam goreng – ‘alot’ kata Ibenk. Tapi lumayan ya, cacing-cacing di perut jadi tenang.

Setelah beberapa kali telepon, akhirnya kami tiba di sekretariat LSM Yayasan Bina Lingkungan (YBL) Masta di kota Magelang. Bertemu dengan pak Nuryoso yang bercerita suka-duka dan strategi mendampingi komunitas petani di bukit Manoreh.


Perjalanan pun berakhir di rumah keluarga Ibenk - ditutup dengan sepiring kepiting asam manis sebagai makan malam. Jadi inget kepiting di Samarinda euy……

Rencana semula, saya akan langsung ke desa Kedungwringin dan bermalam di sana. Tetapi tidak mungkin masuk ke desa di atas jam 8 malam. Sehingga setelah makan malam, saya langsung kerumah orang tua di Banjarnegara.

03 Januari 2008

"Ini pengabdian pada masyarakat untuk mendukung tri dharma perguruan tinggi"

Masih menjelang akhir tahun 2007, saya YM dengan pak Sarono - dosen Politehnik Negeri Semarang dan direktur eksekutif di LSM Borobudur Exchange - saya kenal beliau juga sebagai sesama undangan di tim grand design Kaltim. Keahlian beliau di bidang teknologi komunikasi.

Setelah berbasa-basi - kami baru berkomunikasi lagi setelah pertemuan pertama di Samarinda beberapa bulan yang lalu - beliau menanyakan, apakah saya punya kegiatan yang bisa di sharing. Saat itu kepala saya sedang dipenuhi oleh jadwal pencarian desa "korban". Maka tanpa ragu saya sampaikan kegiatan tersebut. Awalnya beliau terkesan sedikit kaget, mungkin karena tidak seperti kegiatan pada umumnya yang berawal dengan dana kemudian niat - atau niat tidak lama kemudian tersedia dana. Ini lebih kepada "nekat".

Namun setelah mendapat penjelasan mengenai rencana skema pendanaan dan penjelasan gombal lainnya - eh... kepincut atau lebih tepatnya "ketipu" kale ya - dengan gagah perkasa beliau menyatakan dukungannya.

"Ini pengabdian pada masyarakat untuk mendukung tri dharma perguruan tinggi", tulis beliau mantap.

Trims pak...

28 Desember 2007

Berawal hanya dengan niat ..........................

Tanggal 25 Desember 2007 yang lalu, sesuai rencana, saya ditemani Ibenk, dengan dipandu mbak Lis - super administrator di Pusat Data Elektronik (PDE) Pemda Kebumen - menuju desa Kedungwringin yang terletak di daerah waduk Sempor kabupaten Kebumen. Perjalanan mulai dari rumah Ibenk di kota Kebumen. Setiba di waduk Sempor, kami naik perahu selama kurang lebih 30 menit menuju desa. Pemandangan sekitar waduk Sempor cukup indah.

Kemudian dengan dipandu pak Perahu, kami menuju rumah kepala desa (kades) untuk menyampaikan maksud kedatangan. Sambil menunggu pak Kades, kami beramah tamah dengan bu Kades seraya menikmati air sirup.

******

Tanpa sengaja, suatu hari saya ber-SMS dengan bu Mangestuti - dosen senior di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya. Saya kenal beliau pada tahun 2005 sebagai sama-sama penerima beasiswa riset dari Asian Public Intellectual (API) Fellowship. Komunikasi lewat SMS berlanjut dengan pertemuan di pasar Pagi Mangga Dua. Pertemuan menghasilkan suatu rencana, membuat desa percontohan untuk pengembangan tanaman obat.

Sebagai dosen senior, bu Mangestuti masih enggan mengajukan diri menjadi guru besar. Karya beliau yang sudah seabreg banyaknya, dirasa belum cukup, karena pengabdian yang sesungguhnya kepada masyarakat belum ada. Beliau berharap dapat membangun sebuah desa miskin menjadi desa percontohan pengembangan tanaman obat, sesuai dengan keahliannya.

Gayung bersambut, saya sendiri merasa sangat resah setelah membaca buku "Sokola Rimba" Butet Manurung. Saya yang sekolah lebih tinggi dari Butet, belum mampu berbuat apa-apa untuk masyarakat marjinal. Dan ketika bu Mangestuti menyampaikan harapannya, maka itu pun menjadi mimpi saya.

Kebetulan bu Mangestuti dan saya memiliki ketertarikan yang sama - tanaman obat - ini karena latar belakang pendidikan yang sama - ilmu farmasi. Hanya selanjutnya saya mengkombinasikan ilmu kesehatan dengan teknologi informasi menjadi informatika kesehatan. Sedangkan beliau tetap menekuni bidang ilmu Farmasi. Hasil akhir pertemuan adalah mencari desa yang akan menjadi "korban".

Bulan September 2007 yang lalu saya diundang untuk menghadiri rapat tim grand design teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pemprov Kalimantan Timur di Samarinda. Salah satu undangan adalah Ibenk, pegawai PDE pemda Kebumen. Diskusi macem-macem berlanjut lewat yahoo messanger. Dan ketika Ibenk dinas ke Jakarta, bertemulah kami dan berdiskusi gado-gado mulai di Depkeu Lapangan banteng - tempat Ibenk menghadiri seminar - sampai tempat tunggu bis Damri bandara di Gambir, mengantar Ibenk kembali ke Jogja - beliau sedang melanjutkan studi di UGM. Hasil akhir diskusi gado-gado adalah beliau akan mendukung kegiatan saya dan ibu Mangestuti, selain menawarkan desa di kabupaten Kebumen sebagai "korban".

******

Tahun 2008 akan saya jelang dengan mimpi untuk membangun desa tertinggal melalui pengembangan tanaman obat dan teknologi informasi dan komunikasi. Ini merupakan projek jangka sangat panjang, karena memang saya, bu Mangestuti dan Ibenk niat dengan daya upaya mendampingi hingga bisa menjadi desa percontohan, entah kapan. Berawal hanya dengan niat ..........................


Film perjalanan menuju desa Kedungwringin Kebumen dapat dilihat di http://www.youtube.com/ambaryoganingrum